Ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu, Kakek Sarong yang terlihat masih bugar dengan lancar menceritakan sejarah Aceh pada umumnya dan Bireuen khususnya. Tgk Sarong pernah menjadi komandan pertempuran Medan Area tahun 1946, yang saat itu diberi gelar Kowera (Komandan Perang Medan Area).
Ayah tiga anak dan sejumlah cucu ini, pernah
ditawarkan menjadi guru ngaji di Arab Saudi, ketika dirinya bersama istri
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci pada tahun 60-an. Namun, tawaran itu
ditolaknya karena sayang pada sang istri yang harus pulang ke Aceh tanpa
pendamping. “Itu romansa masa lalu. Tapi, di sini (Aceh-red) saya juga menjadi
guru ngaji he he he…,” katanya sambil terkekeh
Menurut pelaku
sejarah yang lancar berbahasa Arab dan Inggis ini, “Bireuen itu berasal dari
Bahasa Arab yaitu asal katanya Birrun, artinya kebajikan, dan yang memberikan
nama itu juga orang Arab pada saat Belanda masih berada di Aceh. Kala itu,
orang Arab yang berada di Aceh mengadakan kenduri di Meuligoe Bupati sekarang.
Saat itu, orang Arab pindahan dari Desa Pante Gajah, Peusangan, lalu mereka
mengadakan kenduri. Kenduri itu merupakan kebajikan saat menjamu pasukan
Belanda. Orang Arab menyebut kenduri itu Birrun. Sejak saat itulah nama Bireuen
mulai dikenal,” kata pria berkulit sawo matang yang mengaku pernah jadi guru
Bahasa Arab di sebuah sekolah di Aceh tempoe doeloe.
Dengan penuh semangat, Tgk Sarong Sulaiman
menceritakan, sebelum Bireuen jadi nama Kota Bireuen yang sekarang ini, dulu
namanya Cot Hagu. Setelah peristiwa itulah, nama Cot Hagu menjadi nama Bireuen.
“Jadi Bireuen itu bukan asal katanya dari bi reuweueng (memberi ruang/ lowong
atau celah), tetapi, Birrun itulah asal kata nama Kota Bireuen sekarang,” kata
pria yang mengaku pernah berhasil memukul mundur pasukan Kolonial Belanda, saat
bertempur melawan penjajahan dulu.
0 komentar:
Post a Comment