Ngopi, memang sudah menjadi budaya dunia. Namun di Aceh, kopi bukan sekadar untuk dinikmati dalam secangkir gelas, tetapi kopi telah menjadi dinamiki kehidupan masyarakat yang tinggal di sana. Tak salah kalau ada ungkapan; “katakanlah dengan kopi”.
Di berbagai wilayah Aceh, duduk di kedai kopi sambil menikmati kopi dan berbincang-bincang berbagai hal, merupakah hal rutin yang dilakukan oleh masyarakatnya. Bisa dibilang, ngopi (menikmati kopi), sudah menjadi budaya di Aceh. Budaya ngopi di kedai kopi ini bisa jadi karena Aceh salah satu penghasil kopi terbaik di dunia, yang pertaniannya salah satunya ada di dataran tinggi Gayo – Aceh Tengah.
Kopi Terbaik
Jenis Kopi Arabika merupakan jenis kopi terbanyak dikembangkan oleh para petani kopi Gayo di dataran tinggi Gayo Aceh. Hasil produksi Kopi Arabika dari Tanah Gayo ini adalah yang terbesar di Asia. Kopi Gayo Aceh memang memiliki cita rasa khas dan sudah diakui oleh seorang pakar uji cita rasa (cupper) kopi dunia, Christopher Davidson. Keberadaan kopi Gayo juga tak lepas dari sejarah panjang penjajahan Belanda di Aceh bagian tengah pada awal abad ke 10. Pada tahun 1918 pemerintah Belanda menjadikan kopi Gayo sebagai produk masa depan, hal ini seiring dengan tingginya minat pasar mancanegara terhadap keunikan cita rasa kopi Gayo Aceh. Sebagian besar komoditas kopi arabika Gayo tersebut dikembangkan di tiga kabupaten yaitu Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
Bicara masalah budaya ngopi di Aceh, popularitasnya semakin mengambil tempat pasca tsunami. Semua itu tak bisa lepas dari berdatangannya komunitas internasional di bumi Serambi Mekkah ini. Mayoritas mereka juga menyukai kopi Aceh. Seperti Bill Clinton, mantan Presiden Amerika Serikat itu pun mengagumi kopi Aceh. Utusan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk korban tsunami itu, akhirnya mempromosikan kopi Aceh ke seluruh dunia melalui sebuah industri kopi di negerinya, Starbucks Coffee. Melalui dirinya, Starbucks Coffee telah menyatakan siap membeli kopi produksi Nanggroe Aceh Darussalam, yang industri kopi itu tidak hanya membeli tapi juga mencantumkan dimana kopi itu berasal, yaitu tentu dengan label kopi Aceh.
Cita Rasa Kopi Terbaik
Pada dasarnya kopi Aceh sama dengan kopi-kopi lainnya. Namun, karena di daerah lain biasanya ada beberapa bubuk kopi yang dicampur dengan bahan-bahan lain seperti jagung dan beras, sehingga membuat cita rasa asli dari kopi itu hilang kemurniannya.
Untuk di Aceh, pencampuran seperti itu tidak perlu dilakukan, mengingat komoditi kopi di provinsi ini begitu melimpah. Sehingga kemurniannya tetap terjaga, dan saat kita menikmati kopi di secangkir gelas, kopinya begitu wangi, harum, gurih, dan membuat orang yang mencobanya jadi ketagihan.
Buat orang Aceh, atau bagi pecinta kopi, minum kopi bukan lagi sekadar meminum, tetapi meresapi setiap cecap yang ada dalam citarasa kopi tersebut; kekentalannya, aromanya, bahkan secangkir kecil pun sangat jarang cepat dihabiskan, karena kenikmatan yang dirasa adalah ketika rasa kopi itu berada di ujung lidah.
Kenikmatan meminum kopi juga tergantung biji dan bubuk kopinya. Disamping itu, pembuat kopi atau peraciknya pun memiliki andil besar untuk menambah nikmat citarasa kopi. Karena, membuat kopi di Aceh bukanlah sekadar penyeduh kopi biasa, ia memiliki keahlian bagaimana mengatur tingkat panas air, kekentalan kopi, mengaduknya, hingga menyuguhkannya.
Bila datang atau berkunjung ke Aceh, jangan heran bila setiap kedai kopi, selalu dipadati atau dipenuhi oleh pengunjung dari mulai kalangan muda, hingga orang tua. Karena budaya meminum kopi telah memberikan andil yang besar terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya. Bahkan berbagai hal banyak diselesaikan dikedai kopi; bagi yang remaja atau kaum muda, mungkin permasalahan asmara pun dibicarakan di kedai kopi sambil menikmati nikmatinya kopi dan aromanya yang penuh menggoda. Bisa jadi, romantisme itu ada justru saat bersama sedang mencecap cita rasa kopi yang dinikmati.
Bagi para pembisnis, aroma kopi kerap kali melengkapi transaksi bisnis yang dibicarakan guna menentukan deal bisnis yang disepakati. Bahkan para politikus, pejabat, hingga masyarakat biasa, membincangkan banyak hal di kedai kopi sambil menyeruput air hitam dari gerusan biji kopi yang telah dibuat untuk jadi suguhan minuman.
Kopi telah menjadi bagian kehidupan yang sangat menentukan untuk kehidupan masyarakat Aceh. Entah, sejak kapan budaya ini berkembang sehingga menjadi gaya hidup yang tidak bisa lagi ditinggalkan. Encer atau kentalnya kopi, bukan lagi menjadi persoalan, karena itu masalah selera saja. Namun yang paling penting, kopi itu murni, tidak dicampur oleh bahan lainnya, dan kemurnian dari kopi itulah yang terus mengikat budaya ngopi di Aceh hingga saat ini.
Mempererat Persaudaraan
Jadi berkumpul dan minum kopi di kedai memang sudah menjadi kebiasaan dan budaya orang Aceh sejak dulu. Orang Aceh berkumpul di kedai kopi, lebih kepada untuk mempererat rasa persaudaraan. Nawawi, pemilik kedai Solong Ulee Kareng, melihat kebiasaan orang Aceh minum kopi ini sejak kecil. Menurutnya, dulu untuk mendapatkan secangkir kopi selain membayar dengan uang juga dilakukan barter atau menukar barang langsung seperti hasil kebun dan lain-lain.
“Sebelum kepasar orang Aceh harus minum kopi. Malah waktu kecil saya melihatnya sistemnya barter, jadi orang kampung minum habis itu datang ke kota menjual hasil taninya seperti pisang, ada jambu, macam-macam dagangan hasil buminya. Setelah pulang dari pasar, baru mereka membayar kopi yang pagi dimunumnya. Atau bisa juga langsung barter dengan barang bawaannya,” cerita Nawawi.
Aroma kopi Aceh akan semakin menjelajah dunia ketika kopi ini telah menjadi salah satu menu dalam kedai kopi internasional, Starbucks Coffee. Seteguk demi seteguk kopi Aceh pun akan sampai ke lidah orang-orang di belahan dunia lain yang menyukai kopi. Dan budaya ngopi itu, akhirnya bukan hanya milik orang Aceh, tetapi kini sudah menjadi budaya warga dunia.
Sumber: Lintas Gayo
Sedaaap
ReplyDeleteSedaaap
ReplyDelete